Bersama beliau lagi

Ini gak tahu harus mulai dari mana, tapi mimpi kali ini terasa beda. Lebih dari sekadar bunga tidur—rasanya seperti perjalanan jiwa. Seperti pulang ke sebuah tempat yang tak asing, tapi sudah lama kutinggalkan. Rumah itu adalah milik beliau, Pak Kyai Syukron Makmun—pendiri pesantren Daarul Rahman, tempat aku pernah menghabiskan enam tahun hidupku, menimba ilmu, dan mengenal diri.


Dalam mimpiku lagi pagi ini, aku berada di rumah beliau. Suasana hangat, sederhana, tapi penuh dengan ketenangan yang sulit dijelaskan. Aku membantu beliau berjalan masuk ke dalam rumah setelah mengajar dan dipijati. Beliau sudah sepuh, tapi tetap dengan wajah teduh yang sama seperti dulu saat di pengajian. Aku bantu menyiapkan kursi untuknya, tempat duduk, bahkan tempat tidurnya. Gak ada paksaan. Semuanya kulakukan dengan rasa hormat dan sayang yang alami, seperti cucu ke kakek, atau murid ke gurunya.

Lalu kami makan bersama. Duduk bersebelahan, ngobrol kecil, dan saling berbagi kehangatan yang tak banyak bicara, tapi dalam maknanya. Makanan di sana banyak, dan anehnya, aku merasa lebih sehat dan segar dari biasanya. Tubuhku ringan. Hatiku tenang. Seakan semua beban hidup yang biasanya menghantui… hilang begitu aja di sisi beliau.

Hal yang paling mengejutkan? Beliau main HP. Warnanya merah. Di HP itu beliau buka foto-foto zaman dulu—entah kenangan beliau, atau foto-foto lama pondok. Aku ikut melihat, ikut senyum. Kadang beliau main game juga. Sesuatu yang gak pernah aku bayangkan dari sosok kyai sepuh sepertinya. Tapi dari situ aku merasa: beliau manusia, beliau juga punya sisi-sisi kecil yang hangat dan sederhana, yang mungkin selama ini gak pernah kelihatan.

Rumah beliau dalam mimpi itu gak megah, tapi penuh. Penuh makanan, penuh minuman—bahkan salah satu minumannya terasa ajaib. Entah kenapa, minumannya membuatku semakin sehat, jernih, dan tenang. Aku gak tahu maknanya pasti apa, tapi aku ngerasa ini bukan sekadar mimpi biasa. Ini semacam isyarat, pesan, atau mungkin peringatan halus dari Allah, lewat sosok guru yang aku hormati.

Dari awal sampai akhir, mimpi ini terasa utuh. Dan aku bersyukur langsung ingat dan bisa menuliskannya. Karena mungkin, di balik mimpi ini, ada restu, ada doa, atau bahkan sapaan dari alam ruhiyah yang nggak bisa dijelaskan oleh logika manusia.

Yang jelas... aku bangun dengan hati yang damai, terimakasih guruku, maafkan aku belum bisa menjadi murid yang baik bagimu dan orang disekitar ku...

Komentar

Postingan Populer